Senin, 13 Juni 2011

YA, SUDAHLAH

Bab I. Yang Pergi Tatkan Balik

Pagi masih terlalu muda untuk ditinggalkan kendati sudah sejak pukul sepuluh ruang aula terisi oleh siswi kelas tiga Dwyer High School. Mereka diundang dan dikumpulkan untuk menerima vonis kelulusan. Hasil belajar selama tiga tahun akan ditentukan hari itu juga. Bahkan kebersamaan para siswi Dwyer School akan ditutup saat itu pula. Hanya saja cara penutupannya dengan memori yang indah atau buruk. Lulus artinya baik. Tidak lulus maksudnya bukan penutup yang sempurna.

Atap aula pun nyaris runtuh (apalagi kalau bukan) disebabkan oleh sorakan girang dipadu tepukan tangan anak manusia. Maklumlah apabila suasana menjadi gila-menggilai. Gaduh. Hampir-hampir menyerupai tetingkah makhluk primitif dari jaman nirleka nun jauh. Bahkan jika ada nyala petasan atau hiasan pijaran napalm itu dianggap sah. Cuma kalau meledakkan fisi-fusi namanya sudah segila nenek moyang di bumi.

Tampak seorang anak gadis turut berjingkrakan. Namanya Sake Forest. Matanya berbinar oleh senyuman. Namun alangkah nampak perbedaan parasnya tatkala menoleh memandangi pintu aula. Cahya matanya redup. Lakunya mirip orang bermenung meratapi masa-masa lampau. Hampir terbitlah air di sudut kisut matanya. Memanglah kalau diamati wajahnya akan terpeta kerut keruh kemalangannya. Semua derita menempa kulitnya menjadi tua.

Apa derita selalu menuakan badaniah manusia? Menuakan bentuk kasar manusia? Sebutlah bahwa sebagian dari manusia itu jika sendiri akan menjelma lungkrahlah seluruh raga jiwanya dan saat di keriuhan dia menyihir diri dengan topeng warna-warni semarak. Menyembunyikan pahit empedu yang dikandung badan.

"Kita nanti merayakan di Grey Cafe, ya."

Suara temannya membuat kelopaknya berkedut. Dahinya berkerut. Dia sudah tak ada di sini, bisik hatinya lemah lembut. Dia kembali memandang ke arah kawan-kawannya. Sudah lama pergi. Rahangnya mengencang. Kalau disusuri, dari dulu aku memang tidak mampu meraih apa-apa, desisnya sinis.

"Wah, nanti kita sudah tidak bisa mencubiti Sake, nih," Jo Ann menarik pipi Sake. "Lepaskan, sakit," tolak Sake. "Sake, kan, anak yang lucu," tawa Rory. "Keren jangan lucu," tukas Sake. "Teman-teman nanti aku datang agak belakangan, kalian tahu, kan, aku harus mengantar ibuku," potong Leda.

"Terserah kamu mau ke mana dulu, Leda, kami tidak menunggumu," goda Marry yang baru saja bergabung. "Enak saja," rutuk Leda. Banyolan Marry membuat suasana penuh tawa. Sake juga ikut tertawa. Tawa kosong. Lain dari haru. Kekosongan yang setiap malam menjemput pagi ditangisi Sake. Marry menangkap sudut mata Sake yang liar mencari sesosok bayangan. Mencuri pandang ke arah pintu. Lengannya menyenggol Sake. "Kamu memikirkannya, Sake?" usiknya. "Ng? Hm. Selalu."

"Mengapa kamu tidak mencoba menghubunginya sekedar bertanya apa dia lulus atau kabari keadaanmu jika kamu lulus," usul Marry. Maunya begitu, Marry, ingin aku menghubunginya sejak dulu, tiap pagi. "Saat ini hal seperti apa pun yang aku kerjakan tatkan berpengaruh padanya." Walau kuat aku memanggilnya supaya kembali, Marry. Bahkan selamanya akan terus begini. Dia pergi.

"Aa' Sake masih mengharapkannya?" tanya Marry. "Kalau boleh begitu, adinda."

Ya, ampun, aku sakiti dia, dinda, berkali-kali. Ini kesalahanku.

"Aa' menyesal, ya?"

"Ini bukan salahmu, dinda."

Akulah yang tidak pandai menjelaskan kesalahpahaman itu dan meluruskannya. Ini kesalahanku, pantaslah jika dia pergi.

"Marry, ikut sebentar ke tempat Ivy!" pinta Jo Ann. "Huh, ya. Sebentar, ya, Sake."

Sake menunduk. Pikirnya, semua orang bakal pergi. Charlotte pergi, tinggal tunggu Marry juga meninggalkannya. Siapa yang akan menyusul? Serasa dia kembali ke masa kanak di mana dia keseoian sendirian.

"Paman Sake," panggil Lucida, takut terdengar orang lain. "Oho, Lucida. Gerah di sini, nak," kata Sake setengah bergurau. "Ih, paman, dingin begini," ledek Lucida. "Ah, yang di dalam menanggung haru, di luar laksana gerah jua, nak," seloroh Sake.

Lucida memang melihat bola mata Sake yang memerah berair, dan keadaan itu dialami seluruh seniornya, namun dia yakin ada yang lain dari air muka Sake. Dia tahu Sake menangis karena teringat akan gadis yang tidak pernah dia miliki.Dia ingat percakapannya dengan Sake.

"Keponakanku, Lucida, dia layaknya bayangan maya yang senantiasa menggantung di tepi anganku sejak paman masih kanak dan kini sekonyong-konyong menjelma dalam wujud nyata. Mengejewantah dalam sosok yang mendarah dan berdaging."

Lengan Lucida terjulur menyentuh pundak Sake.

"Sake, yang sabar, ya, suatu saat nanti pasti berjumpa wanita lain yang mencintai paman."

Tercenganglah Sake mendengar suara kemenakannya. Engkau mengira aku memikirkan dan meratapi Charlotte, Lucida? Sayangnya paman tak akan menggantinya, nak. Dia memiliki hati paman secara utuh Meskipun begitu memang benar paman teringat olehnya. Menyesali perbuatan yang lampau. "Hm, terima kasih, nak."

Tuhan, biarlah hamba menempatkannya sebagai seorang perempuan dalam angan guna memperkokoh semangatku, sebagaimana seorang penyair yang mendirikan bidadari dan malaikat yang akan dipantunkan. Di mana dia tidak akan berjumpa dengan bidadari atau malaikat itu secara hakikat, cukupkan dalam taraf imajinasi.

"Heeh, nak, aku lulus, lho," cengir Sake. Dia ingin bercakap banyak supaya mengusir rasa kosong. Kekosongan yang ditimbulkan akibat tidak munculnya seorang wanita di dalam aula itu.

"Pernyataan konyol," umpat Marry. "Heeh, Marry, apa maksudmu?" tanya Sake.


bersambung.

RhR.

Tidak ada komentar: