Minggu, 12 Juni 2011

Ada Seseorang Menjagaku

Cerita ini ditulis oleh Sharon Wajda dan dimuat dalam buku Chicken Soup for the Couple’s Soul belasan tahun yang lalu. Saya sudah membacanya berkali-kali dan perasaan haru itu selalu saja masih menyelimuti. Membaca cerita-cerita tentang pengorbanan & kesetiaan cinta memang selalu membuat hati kita tergetar dan tentunya menambah rasa sayang kita kepada pasangan kita. Semoga saja di saat kita sudah tua nanti, kualitas cinta kita tidak luntur dan tidak menurun.

********



Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda berpenampilan menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki tangga. Dia membayar sopir bus lalu dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang dikatakan kosong oleh si sopir. Kemudian dia duduk, meletakkan tasnya di pangkuannya dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.




Setahun sudah lewat sejak Susan, tiga puluh empat tahun, menjadi buta. Gara-gara salah diagnosa dia kehilangan penglihatan dan terlempar ke dunia yang gelap gulita, penuh amarah, frustrasi, dan rasa kasihan pada diri sendiri. Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, tak berdaya, dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya. “bagaimana ini bisa terjadi padaku?” dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah. Tetapi, betapapun seringnya dia menangis atau menggerutu atau berdoa, dia mengerti kenyatan yang menyakitkan itu – penglihatannya takkan pernah pulih lagi.



Depresi mematahkan semangat Suan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya frustrasi. Dia menjadi sangat tergantung kepada Mark, suaminya.



Mark seorang perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus. Ketika istrinya baru kehilangan penglihatan, dia melihat bagaimana Susan tenggelam dalam keputusasaan. Mark bertekad untuk membantunya menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran yang paling sulit dihadapinya.



Akhirnya, Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi bagaimana dia akan bisa sampai ke kantornya? dulu Susan biasa naik bus, tetapi sekarang terlalu takut untuk pergi ke kota sendirian. Mark menawarkan untuk mengantarkannya setiap hari, meski tempat kerja mereka terletak di pinggiran kota yang berseberangan. Mula-mula kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal yang paling sederhana sekalipun. Tetapi, Mark segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru – membuat mereka terburu-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar baik bus lagi, Mark menyimpulkan dalam hati. Tetapi, baru berpikir untuk menyampaikan rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reaksinya nanti?



Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar gagasan naik bus lagi. “Aku buta!” tukasnya dengan pahit. “bagaimana aku bisa tahu ke mana aku pergi. Aku merasa kau meninggalkanku”.

Mark sedih mendengar kata-kata itu, tetapi dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore dia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa pergi sendiri.



Dan itulah yang terjadi. Selama dua minggu penuh Mark mengenakan seragam militer lengkap, mengawal Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana caranya menggantungkan diri pada inderanya yang lain, terutama pendengarannya, untuk menentukan di mana dia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan sopir-sopir bus yang mengawasinya dan menyisakan satu kursi kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuh berkas di lorong bus.



Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi ke kantornya. Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan dari pada yang pertama, Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa dikawal. Mark percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnya sebelum kehilangan penglihatannya; wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan apa pun dan tidak akan perrnah menyerah.



Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu seorang diri. Tibalah di hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan.



Senin, Selasa, Rabu, Kamis…Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal.



Pada hari Jum’at pagi, seperti biasa Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata, “ Wah, aku iri padamu”.



Susan tidak yakin, apakah sopir itu bicara kepadanya atau tidak. Lagipula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian menjalani hidup? Dengan penasaran, dia bertanya pada sopir itu, “ Kenapa kau bilang kau iri padaku?”



Sopir itu menjawab, “ Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu.”

Susan tidak tahu apa maksud sopir itu. Sekali lagi dia bertanya, “ Apa maksudmu?”



“ Kau tahu, minggu kemarin, setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam milliter berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita beruntung,” kata sopir itu.



Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat Mark, dia selalu merasakan kehadirannya. Dia beruntung, sangat beruntung, karena Mark memberinya hadiah yang jauh lebih berharga daripada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihat dengan matanya untuk meyakinkan diri – hadiah cinta yang bisa menjadi penerang di mana pun ada kegelapan.

Tidak ada komentar: