Catatan ini saya copy dari kuliah on line ust Yusuf Mansur, diedit seperlunya...
Semoga berkenan di hati teman - temen semua
(+) Tambah sibuk ya...?
(-) Alhamdulillah... Begitulah.
(+) Sudah berapa cabang sekarang ini...?
(-) Baru empat cabang. Saya jadi lumayan sibuk muter antar-cabang.
(+) Wah, subhaanallaah ya.
(-) Iya, subhaanallaah... Alhamdulillah.
***
Sepintas tidak ada masalah ya dengan dialog di atas. Malah kayaknya dialog di atas terjadi di antara dua sahabat di mana salah satunya adalah pengusaha soleh yang sukses. Tidak nampak di antaranya ada penyakit. Setidaknya dilihat dari jawaban-jawabannya yang banyak mengucapkan puji-pujian kepada Allah; Subhaanallah dan alhamdulillaah.
Benarkah demikian? Belum tentu...
(+) Shalatnya bagaimana...? (Kebetulan ust YM yang nanya, jadi orang kebanyakan ga tersinggung. Apalagi dengan posisi ust YM yang katanya "ustadz". Maka pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang. Maka jawaban yang jujur yang didapat dari dia, kelak yang akan membuka tabir apakah sesungguhnya yang sedang terjadi. Benarkah kemajuannya itu nikmat, ataukah justru azab?)
(-) Alhamdulillah, shalat mah walau telat, saya ga tinggal.
(+) Barusan shalat jam berapa?
(-) Zuhur?
(+) Ya. Zuhur.
(-) Oh, zuhur malah saya berjamaah. Sama beberapa peserta rapat. Kebetulan hari ini ada meeting markom. (lihat, dia ini "tetap berjamaah", sama peserta rapat. "Hanya", berjamaahnya ini kita lihat jam berapa? ini menjadi berjamaah shalat tidak tepat waktu).
(+) Jam berapa?
(-) Jam 1-an. Habis makan siang.
(+) Ooohhh...
(-) Kenapa emangnya...?
(+) Sering begini...?
(-) Maksudnya...?
(+) Shalat itu kan lebih baik di awal waktu. Nah, kondisi shalat di jam-jam 1-an itu sering?
(-) Iyalah Ustadz. Kan suasana Jakarta juga subhaanallaah. Macetnya kan ustadz tahu sendiri. Kayak apa macetnya, iya kan? Kadang saya perpindahan meeting ke meeting, susah juga untuk shalat tepat waktu. Yang penting kan shalatnya ya ustadz.
(+) Iya. Tapi shalat tepat waktu juga, penting. Terus, keluarga gimana?
(-) Alhamdulillah, baik-baik saja.
(+) Tiap hari pulang jam berapa?
(-) Normal aja, Ustadz. Jam-jam 10-an saya udah di rumah. Yah, kayak yang lain dah.
(+) Sabtu Minggu, jalan-jalan sama anak2?
(-) Sesekali Ustadz.
(+) Koq sesekali?
(-) iyalah Ustadz. Kan masing-masing juga punya jadual kesibukan masing-masing. Istri saya sekarang punya usaha. Anak-anak pun ada jadual sekolah lah, jadual klub lah, jadual ini itu. Saya sendiri pun kadang supervisi ke cabang-cabang saya lakukan dalam sabtu minggu. Tapi alhamdulillah, kami baik-baik saja Ustadz.
Sebenernya ini udah tanda-tanda. Tapi sampe di sini, banyak yang merasa fine-fine aja. Merasa baik-baik saja. Benarkah baik-baik saja? Ya, terusin saja bacanya.
***
Punya Istri kayak Engga Punya Istri Punya Suami Kayak Engga Punya Suami
Kesibukan manusia mencari, mengumpulkan dan mempertahankan dunia, sudah merenggut banyak hal yang dia punya. Ini fakta. (Masih untung kalo tetap beribadah, meskipun kualitas ibadahnya harus dipertanyakan dengan jawaban kejujuran)
Dalam hubungan suami istri, banyak para istri yang sedikit sekali merasakan sentuhan hangat suaminya seperti awal pernikahan. Sebab suaminya entah ada di mana. Hanya ada laporan sms demi sms saja. Atau sekedar ber-3G ria, tanpa tahu dengan pasti ada di mana, dan sedang apa. Lama-lama, berkomunikasi dengan cara ini pun menjadi sebuah rutinitas yang disebeli sebenernya, namun menjadi sebuah ritual yang tetap harus dijalankan. Akibatnya? Hambar. Tidak sedikit, para suami kemudian memberikan kesempatan pada istrinya untuk mengambil kesibukan lain, supaya jangan selalu menunggu dia. Misalnya, dengan menyuruh berorganisasi, aktif di pengajian-pengajian, belanja dari mall- ke mall. Sampe kemudian buka usaha sendiri. Ujung-ujungnya, komunikasi makin jauh. Satu ke Barat, satu ke Timur. Perjalanannya kemudian tidak jarang berakhir di perceraian. Atau pun kalau tidak, ya perselingkuhan.
Ya, coba saja dirasakan. Seberapa sering sekarang kita menyisir rambut kita punya istri? Memijit pundaknya ketika dia kelelahan memasak untuk kita? Seberapa sering kita kemudian membelai dia punya rambut, merasakan aroma wangi rambutnya yang habis keramas untuk kita? Betapa hebatnya kita merasakan dulu manisnya bicara berdua sambil ngopi, nge-teh? Sekarang? Frekuensinya? Makan di rumah, sudah jarang. Sarapan, di kantor masing-masing. Atau bahkan di jalan.
Wuih, segitu hebatnya kah kita mengumpulkan uang? Kalopun kita kumpulkan, seberapa banyak yang kita bakal makan dan nikmati? Tanya para istri, mereka tidak lagi semangat mandi dan pakai wewangian. Sebab mereka pikir, buat siapa lagi mereka bersih, wangi dan segar? Wong suami yang dicintai tidak ada di sisinya.
Sekarang? Bagaimana? Kita bakal menemukan itu, kalau kita pejamkan mata kita. Seakan tidak akan terjadi jika di kehidupan nyata. Bahkan saudara-saudaraku, jika para istri, menemukan apa yang diinginkannya di laki-laki yang bukan suaminya, dan jika para suami menemukan hal-hal tersebut di diri perempuan yang bukan istrinya, maka terjadilah hal yang tidak diinginkan. Bahkan oleh mereka berdua. Ketika lelah rapat di luar kota, ketika menginginkan pijatan lelah, ternyata pintu kamar kita ada yang mengetuk. Lalu berdirilah di hadapan kita seorang perempuan berseragam hotel menawarkan welcome message. Free, katanya. Untuk 10 menit pertama. Selanjutnya, ada tarifnya. Tidak sanggup kemudian saya meneruskan tulisan ini.
Sedemikian gawatnya kah? Ya, coba aja dipikir sendiri, dan pasang telinga buka mata, banyak kejadian begini di sekitar kita. Lalu masa kan terjadi sama kita? Jika demikian, kita hidup untuk siapa dan untuk apa? Ini semua, akan diambil oleh dunia.
***
Punya Anak Seperti Tidak Punya Anak
Yang paling merana sebab kita tidak bisa mengendalikan waktu, tidak bisa mengendalikan usaha, tidak bisa mengendalikan perkembangan bisnis dan pekerjaan yang kita anggap sebagai "kemajuan" adalah anak kita. Anak yang begitu ditunggu keberadaannya. Para suami bersuka cita sebab istrinya hamil, istri bersuka cita sebab merasa lengkap sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang istri, eh begitu anak sudah berwujud sebagai anak, kita tinggalkan dia untuk kita berikan waktu kita untuk dunia. Lalu kemudian kita berkata, bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk dia, untuk mereka. Untuk anak-anak kita.
Sementara, anak-anak kita, engga tahu, apakah mereka punya ayah atau tidak. Sekarang ini, banyak ayah dan ibu, yang untuk mengambil raport anaknya pun mati-matian menyisihkan waktu. Gila ga? Untuk menemani anaknya berlibur, di mana para gurunya mewajibkan liburan kali ini didampingi orang tuanya, mereka tidak punya waktu. Saking sibuknya. Dan tidak sedikit yang menyesal, mengapa memasukkan ke sekolah yang punya peraturan seperti itu! Tidak sedikit para orang tua, yang tidak bisa melihat momen di mana anak bangun tidur. Karena gelap-gelap mereka udah jalan.
Apakah begini yang disebut hidup nikmat? Tidak sedikit anak-anak yang tidak merasakan dikelonin/dimanja ayah ibunya ketika mereka mau tidur. Tidak jarang para ayah muda yang tidak melihat momen di mana bayinya baru bisa berjalan, tertatih, dan jatuh lagi. Para ayah sibuk bekerja. Para ibu, sibuk bekerja. Sementara, yang menikmati pertunjukan Allah, Tuhan Sang Pencipta, adalah orang lain; baby sitternya, pengasuhnya, neneknya. Lalu kita diberitakan kabar gembira ini tanpa menyaksikan pertunjukan ini secara langsung. Kapan Anda terakhir mendengar anak Anda membaca al Qur'an? Di mana ketika mereka membaca al Qur'an, Anda ada di sampingnya?
Kapan Anda terakhir bermain bola dengan anak laki-laki Anda, atau membantu mengikatkan rambut putri Anda yang sudah memanjang dan bisa diikat? Kapan Anda punya kesempatan memandikan anak-anak Anda? Membetulkan, pakaiannya? Meraba halus kulitnya? Kapan terakhir Anda bercanda dengan anak Anda dan melihat senyumannya anak-anak Anda? Jangan-jangan tidak pernah. Masih syukur kalau anak Anda masih hidup. Bagaimana kalau anak Anda sudah meninggal dunia, yang ketika meninggalnya pun Anda tidak bisa menemaninya menghembuskan nafasnya yang terakhir? Segitu sibuknya kah kita, sehingga ketika anak kita panas badannya lalu yang merawat adalah tangan yang bukan tangan ajaib baginya? Ya, tangan kita adalah sentuhan ajaib bagi penyakit anak kita.
Segitu sibuknya kah kita, sehingga untuk duduk bareng membaca buku bersama anak kita, dan mendengarkan celotehannya, kita tidak sanggup melakukannya walo hanya sebulan sekali? Jika demikian, siapa kita di mata anak-anak kita? Tidak lebih sekedar pencari dunia. Kelak mereka akan mencari perlindungan dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kasih sayang dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kesenangan yang tidak didapatkan dari kita. Dan Anda, sudah bisa menjawabnya sendiri. Mereka lebih betah di rumah kawan-kawannya, sungguh pun kita lengkapi hidupnya dengan super fasilitas. Mereka lebih nyaman berada di kekasihnya. Lalu, ketika kita tua, ketika kita butuh kehadiran mereka, mereka sama sekali tidak tergerak untuk bersam-sama kita menghabiskan sisa umur kita bersamanya. Kenapa? Karena mereka tidak terlatih untuk itu!
Semoga berkenan di hati teman - temen semua
(+) Tambah sibuk ya...?
(-) Alhamdulillah... Begitulah.
(+) Sudah berapa cabang sekarang ini...?
(-) Baru empat cabang. Saya jadi lumayan sibuk muter antar-cabang.
(+) Wah, subhaanallaah ya.
(-) Iya, subhaanallaah... Alhamdulillah.
***
Sepintas tidak ada masalah ya dengan dialog di atas. Malah kayaknya dialog di atas terjadi di antara dua sahabat di mana salah satunya adalah pengusaha soleh yang sukses. Tidak nampak di antaranya ada penyakit. Setidaknya dilihat dari jawaban-jawabannya yang banyak mengucapkan puji-pujian kepada Allah; Subhaanallah dan alhamdulillaah.
Benarkah demikian? Belum tentu...
(+) Shalatnya bagaimana...? (Kebetulan ust YM yang nanya, jadi orang kebanyakan ga tersinggung. Apalagi dengan posisi ust YM yang katanya "ustadz". Maka pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang. Maka jawaban yang jujur yang didapat dari dia, kelak yang akan membuka tabir apakah sesungguhnya yang sedang terjadi. Benarkah kemajuannya itu nikmat, ataukah justru azab?)
(-) Alhamdulillah, shalat mah walau telat, saya ga tinggal.
(+) Barusan shalat jam berapa?
(-) Zuhur?
(+) Ya. Zuhur.
(-) Oh, zuhur malah saya berjamaah. Sama beberapa peserta rapat. Kebetulan hari ini ada meeting markom. (lihat, dia ini "tetap berjamaah", sama peserta rapat. "Hanya", berjamaahnya ini kita lihat jam berapa? ini menjadi berjamaah shalat tidak tepat waktu).
(+) Jam berapa?
(-) Jam 1-an. Habis makan siang.
(+) Ooohhh...
(-) Kenapa emangnya...?
(+) Sering begini...?
(-) Maksudnya...?
(+) Shalat itu kan lebih baik di awal waktu. Nah, kondisi shalat di jam-jam 1-an itu sering?
(-) Iyalah Ustadz. Kan suasana Jakarta juga subhaanallaah. Macetnya kan ustadz tahu sendiri. Kayak apa macetnya, iya kan? Kadang saya perpindahan meeting ke meeting, susah juga untuk shalat tepat waktu. Yang penting kan shalatnya ya ustadz.
(+) Iya. Tapi shalat tepat waktu juga, penting. Terus, keluarga gimana?
(-) Alhamdulillah, baik-baik saja.
(+) Tiap hari pulang jam berapa?
(-) Normal aja, Ustadz. Jam-jam 10-an saya udah di rumah. Yah, kayak yang lain dah.
(+) Sabtu Minggu, jalan-jalan sama anak2?
(-) Sesekali Ustadz.
(+) Koq sesekali?
(-) iyalah Ustadz. Kan masing-masing juga punya jadual kesibukan masing-masing. Istri saya sekarang punya usaha. Anak-anak pun ada jadual sekolah lah, jadual klub lah, jadual ini itu. Saya sendiri pun kadang supervisi ke cabang-cabang saya lakukan dalam sabtu minggu. Tapi alhamdulillah, kami baik-baik saja Ustadz.
Sebenernya ini udah tanda-tanda. Tapi sampe di sini, banyak yang merasa fine-fine aja. Merasa baik-baik saja. Benarkah baik-baik saja? Ya, terusin saja bacanya.
***
Punya Istri kayak Engga Punya Istri Punya Suami Kayak Engga Punya Suami
Kesibukan manusia mencari, mengumpulkan dan mempertahankan dunia, sudah merenggut banyak hal yang dia punya. Ini fakta. (Masih untung kalo tetap beribadah, meskipun kualitas ibadahnya harus dipertanyakan dengan jawaban kejujuran)
Dalam hubungan suami istri, banyak para istri yang sedikit sekali merasakan sentuhan hangat suaminya seperti awal pernikahan. Sebab suaminya entah ada di mana. Hanya ada laporan sms demi sms saja. Atau sekedar ber-3G ria, tanpa tahu dengan pasti ada di mana, dan sedang apa. Lama-lama, berkomunikasi dengan cara ini pun menjadi sebuah rutinitas yang disebeli sebenernya, namun menjadi sebuah ritual yang tetap harus dijalankan. Akibatnya? Hambar. Tidak sedikit, para suami kemudian memberikan kesempatan pada istrinya untuk mengambil kesibukan lain, supaya jangan selalu menunggu dia. Misalnya, dengan menyuruh berorganisasi, aktif di pengajian-pengajian, belanja dari mall- ke mall. Sampe kemudian buka usaha sendiri. Ujung-ujungnya, komunikasi makin jauh. Satu ke Barat, satu ke Timur. Perjalanannya kemudian tidak jarang berakhir di perceraian. Atau pun kalau tidak, ya perselingkuhan.
Ya, coba saja dirasakan. Seberapa sering sekarang kita menyisir rambut kita punya istri? Memijit pundaknya ketika dia kelelahan memasak untuk kita? Seberapa sering kita kemudian membelai dia punya rambut, merasakan aroma wangi rambutnya yang habis keramas untuk kita? Betapa hebatnya kita merasakan dulu manisnya bicara berdua sambil ngopi, nge-teh? Sekarang? Frekuensinya? Makan di rumah, sudah jarang. Sarapan, di kantor masing-masing. Atau bahkan di jalan.
Wuih, segitu hebatnya kah kita mengumpulkan uang? Kalopun kita kumpulkan, seberapa banyak yang kita bakal makan dan nikmati? Tanya para istri, mereka tidak lagi semangat mandi dan pakai wewangian. Sebab mereka pikir, buat siapa lagi mereka bersih, wangi dan segar? Wong suami yang dicintai tidak ada di sisinya.
Sekarang? Bagaimana? Kita bakal menemukan itu, kalau kita pejamkan mata kita. Seakan tidak akan terjadi jika di kehidupan nyata. Bahkan saudara-saudaraku, jika para istri, menemukan apa yang diinginkannya di laki-laki yang bukan suaminya, dan jika para suami menemukan hal-hal tersebut di diri perempuan yang bukan istrinya, maka terjadilah hal yang tidak diinginkan. Bahkan oleh mereka berdua. Ketika lelah rapat di luar kota, ketika menginginkan pijatan lelah, ternyata pintu kamar kita ada yang mengetuk. Lalu berdirilah di hadapan kita seorang perempuan berseragam hotel menawarkan welcome message. Free, katanya. Untuk 10 menit pertama. Selanjutnya, ada tarifnya. Tidak sanggup kemudian saya meneruskan tulisan ini.
Sedemikian gawatnya kah? Ya, coba aja dipikir sendiri, dan pasang telinga buka mata, banyak kejadian begini di sekitar kita. Lalu masa kan terjadi sama kita? Jika demikian, kita hidup untuk siapa dan untuk apa? Ini semua, akan diambil oleh dunia.
***
Punya Anak Seperti Tidak Punya Anak
Yang paling merana sebab kita tidak bisa mengendalikan waktu, tidak bisa mengendalikan usaha, tidak bisa mengendalikan perkembangan bisnis dan pekerjaan yang kita anggap sebagai "kemajuan" adalah anak kita. Anak yang begitu ditunggu keberadaannya. Para suami bersuka cita sebab istrinya hamil, istri bersuka cita sebab merasa lengkap sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang istri, eh begitu anak sudah berwujud sebagai anak, kita tinggalkan dia untuk kita berikan waktu kita untuk dunia. Lalu kemudian kita berkata, bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk dia, untuk mereka. Untuk anak-anak kita.
Sementara, anak-anak kita, engga tahu, apakah mereka punya ayah atau tidak. Sekarang ini, banyak ayah dan ibu, yang untuk mengambil raport anaknya pun mati-matian menyisihkan waktu. Gila ga? Untuk menemani anaknya berlibur, di mana para gurunya mewajibkan liburan kali ini didampingi orang tuanya, mereka tidak punya waktu. Saking sibuknya. Dan tidak sedikit yang menyesal, mengapa memasukkan ke sekolah yang punya peraturan seperti itu! Tidak sedikit para orang tua, yang tidak bisa melihat momen di mana anak bangun tidur. Karena gelap-gelap mereka udah jalan.
Apakah begini yang disebut hidup nikmat? Tidak sedikit anak-anak yang tidak merasakan dikelonin/dimanja ayah ibunya ketika mereka mau tidur. Tidak jarang para ayah muda yang tidak melihat momen di mana bayinya baru bisa berjalan, tertatih, dan jatuh lagi. Para ayah sibuk bekerja. Para ibu, sibuk bekerja. Sementara, yang menikmati pertunjukan Allah, Tuhan Sang Pencipta, adalah orang lain; baby sitternya, pengasuhnya, neneknya. Lalu kita diberitakan kabar gembira ini tanpa menyaksikan pertunjukan ini secara langsung. Kapan Anda terakhir mendengar anak Anda membaca al Qur'an? Di mana ketika mereka membaca al Qur'an, Anda ada di sampingnya?
Kapan Anda terakhir bermain bola dengan anak laki-laki Anda, atau membantu mengikatkan rambut putri Anda yang sudah memanjang dan bisa diikat? Kapan Anda punya kesempatan memandikan anak-anak Anda? Membetulkan, pakaiannya? Meraba halus kulitnya? Kapan terakhir Anda bercanda dengan anak Anda dan melihat senyumannya anak-anak Anda? Jangan-jangan tidak pernah. Masih syukur kalau anak Anda masih hidup. Bagaimana kalau anak Anda sudah meninggal dunia, yang ketika meninggalnya pun Anda tidak bisa menemaninya menghembuskan nafasnya yang terakhir? Segitu sibuknya kah kita, sehingga ketika anak kita panas badannya lalu yang merawat adalah tangan yang bukan tangan ajaib baginya? Ya, tangan kita adalah sentuhan ajaib bagi penyakit anak kita.
Segitu sibuknya kah kita, sehingga untuk duduk bareng membaca buku bersama anak kita, dan mendengarkan celotehannya, kita tidak sanggup melakukannya walo hanya sebulan sekali? Jika demikian, siapa kita di mata anak-anak kita? Tidak lebih sekedar pencari dunia. Kelak mereka akan mencari perlindungan dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kasih sayang dari yang lain. Kelak mereka akan mencari kesenangan yang tidak didapatkan dari kita. Dan Anda, sudah bisa menjawabnya sendiri. Mereka lebih betah di rumah kawan-kawannya, sungguh pun kita lengkapi hidupnya dengan super fasilitas. Mereka lebih nyaman berada di kekasihnya. Lalu, ketika kita tua, ketika kita butuh kehadiran mereka, mereka sama sekali tidak tergerak untuk bersam-sama kita menghabiskan sisa umur kita bersamanya. Kenapa? Karena mereka tidak terlatih untuk itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar